26 May, 2017

Horizons Unlimited - Indonesia





“Semakin banyak Anda berpergian, semakin Anda menyadari betapa sedikit yang telah Anda lihat” kata Gunther Holtrof, seorang petualang sejati yang telah mengunjungi 215 negara berjarak 894.795 kam dalam waktu 26 tahun. Kata kata penuh inspirasi inilah yang salah satunya menjadi bahan bakar, bagi mesin diesel semangat petualang dunia yang menghadiri event Horizons Unlimited (HU) edisi Indonesia di Sekongkang, Sumbawa, NTB, minggu lalu.

Organisasi HU sendiri didirikan oleh suami istri, Grant dan Susan Johnson pada tahun 1997di Inggris, yang bertujuan untuk menginspirasi, memberi informasi dan memperkuat koneksi antara penjelajah bermotor seluruh dunia. HU ini setiap tahunnya mengadakan pertemuan rutin atau "traveller's meeting" di perbagai negara dan pada pertengahan  Mei lalu, Indonesia mendapatkan kesempatan untuk menjadi tuan rumah, untuk yang pertama kalinya, disebelah utara pulau eksotis, Sumbawa. perlu diketahui, Indonesia juga memiliki beberapa petualang sejati, salah satunya adalah Jeffrey Polnaja atau biasa di panggil kang JJ dan beliau hadir sekaligus sharing pengalamannya mengelilingi dunia di acara HU Indonesia.
    
Sebenarnya dari hati kecil saya ingin sekali menghadiri event tersebut, event yang tidak jauh jauh amat dari Bali, paling tidak butuh 7 jam berjalanan darat plus 6 jam dengan kapal ferry. Namun saya harus merelakan kesempatan emas ini mengingat  sudah punya jadwal lain dan sama sama penting nya yaitu menjadi panitia acara Farewell Games pada hari yang sama. Lagi lagi  Vespa "blue"Sprint saya sementara harus ditunda ber-turing menikmati jalan nan mulus di  Pulau Sumbawa. 

Namun demikian ada hal  yang membahagiakan saya, yakni  kedatangan rider Royal Enfield EFI 500 cc. Rider yang juga  teman kuliah dulu, pernah satu dalam suka,entah dalam duka, dan ternyata IPK-nya juga tidak  beda-beda jauh, Om Sutan namanya. Beliau bersama tim nya menjadi salah satu peserta  event HU perdana di Indonesia itu. Sehingga melalui pandangan matanya lah, suasana meeting HU semakin membakar semangat saya untuk terus berpetualang dan tentunya ber "trail running" ria. @tejomurti
  
acara didukung Eiger Adventure


siap berangkat

narasumber adventure

basecamp, Bali
the beauty of the Royal Enfield Efi 500 cc

18 May, 2017

Lombok - indahnya tak terkira

Scallywags Resort

Pesawat yang kutunggu sejak pagi akhirnya mendarat dengan selamat di BIL (Bandara Internasional Lomok) yang sekarang menjadi LIA atau Lombok International Airport. Jam menunjukkan pukul 8.20 WITA, rute penjemputan yang cukup memakan waktu dari lokasi outbound-ku di sekitar Senggigi, yang seketika merubah rasa lelah menjadi suka cita setelah memeluk anak istri tercinta.


Ternyata mereka berani juga berangkat ke Mataram tanpa guide yang biasanya selalu menemani. Dengan tekad bulat segala keraguan menjadi sirna, dengan semangat bersilaturahmi dan kegiatan menikmati keindahan alam kreasi Sang Pencipta, perjalanan dengan Lion Air terasa nikmat. Seperti pesan seorang pendiri Gontor “Jangan merasa berat sebelum mengerjakan sesuatu, jangan merasa kenyang sebelum makan. Berat itu hanya dikatakan saja tapi kalau dikerjakan terasa ringan”.


Hari pertama sebagaimana telah direncanakan, kami bertiga bermalam di pulau Gili Trawangan tepatnya di resort Scallywags yang berada tak jauh dari dermaga pulau. Gili Trawangan merupakan bagian dari gugusan pulau kecil yang berada tak jauh dari pulau lombok. Pulau lain yang berdekatan adalah Gili Air dan Gili Meno, namun pulau-pulau ini tidak seramai dan sepadat gili Trawangan. Selain dengan banyaknya hotel dan penginapan, infrastruktur yang memadai juga menjadi daya tarik pulau ini untuk menghabiskan waktu.  Untuk menuju pulau-pulau ini tiket Fast Boat dari dermaga Bangsal menuju gili Trawangan, harus ditebus dengan tiket 85 rb per orang jauh dekat.


Nuansa hotel yang alami dan berdekatan dengan pantai sangat memberikan kesan kepada kami khususnya bagi seorang Naomi. Setelah check in yang  waktunya setelah matahari mulai bergerak ke barat, Naomi meminta kami menemaninya mencari spot terbaik untuk melakukan kegiatan air ataupun sekedar berfoto. Ke arah utara sepertinya tempat yangn menarik karena disana akan terlihat matahari terbenam dengan background gunung Agung yang tentunya sangat indah, yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 45 menit di jalan yang sedikit berdebu. Perjalanan sejauh kurang lebih 3 km menuju Pandawa Resort harus ekstra waspada karena lalu lalangnya cidomo (kereta kuda, delman di Jawa) dan para wisatawan yang menggunakan sepeda kayuh. Suara klakson cidomo yang lembut, tidak segahar kereta kuda yang kadang kala melaju kencang menembus sempitnya jalur jalan satu satunya di pulau. Pada awalnya saya mengira ada tukang roti dorong yang sedang menjajakan barang dagangannya, ternyata klakson tersebut milik cidomo!.


Dengan menyewa satu sepeda kayuh yang dipakai bergantian, kami akhirnya tiba di sekitar Pandawa Resort, sebuah hotel mewah diantara beberapa hotel mewah lainnya yang berada disekitarnya yakni Aston dan Villa Ombak Sunset. Sebagai catatan sepeda kayuh tersebut kami sewa dengan harga penawaran sebesar 15 rb per jam dan kami jadikan 30 rb untuk 3 jam. Tak banyak kegiatan yang kami lakukan di sana, setelah mampir di kios makanan milik Pandawa sepertinya, duduk duduk ditepi pantai sambil menunggu matahari turun ke ufuk barat menjadi kenikmatan tersendiri pagi kami bertiga.









Setelah kembali ke penginapan dengan perut yang melilit tentu yang ada dipikirkan adalah bagaimana segera menghilangkan rasa lapar yang mendera. Ternyata ada night market atau pasar malam yang berada dekat dengan dermaga, yang terlihat luar biasa antusias para wisatawan yang berkumpul sambil makan malam bersama. Menu yang dijual terdiri dari nasi campur sampai dengan ikan bakar plus lobster contohnya untuk menikmati lobster dengan ukuran sedang, anda harus merogoh kocek sebesar 900 rb.


Ternyata meskipun namanya pasar malam, rata rata harga makanan disana tidak berarti murah, dengan pemikiran bahwa tingginya ongkos transportasi untuk memindahkan makanan beserta penjualnya dari Mataram ke sini. Pulau kecil Gili Trawangan hanya berpenduduk 800 jiwa saja yang penuh dengan wisatawan domestik dan mancanegara.  Makanan dan air bersih sudah pasti menjadi barang mewah.


Hari kedua, tak banyak yang dilakukan karena baru tersadar dari tidur nyenyak setelah matahari beranjak tinggi. Hotel yang kami tempati sudah harus kami tinggalkan, yah karena cuma satu hari satu malam rencana kami di pulau kecil ini. Untuk kembali ke pulau Lombok, kami telah memesan speed boat, kapal kecil bermesin tunggal, dengan penumpang terbatas yang dapat merapat di mana saja di pulau. Kami minta dijemput di dermaga terdekat, dermaga Villa Ombak Resort. Ongkos yang kami keluarkan untuk sekali perjalanan sebesar 300 rb. Cukup worthed bukan.  Dan sesuai dengan waktu tempuh yang sangat singkat, hanya 15 menit saja menuju jemputan bli Wayan di seberang sana (pulau lombok).


Spot selanjutnya adalah Malimbu untuk sekedar foto –foto sebelum kami mampir di toko perhiasan mutiara di sekitar Senggigi di hari Sabtu sambil kami menuju hotel Aston, tempat kami bermalam di kota Mataram. Esoknya setelah berjalan pagi dengan tujuan pasar Kebon Reok Ampenan, kami  membeli oleh-oleh sebagai buah tangan di toko Phoenix. Toko ini banyak menjual penganan khas Lombok, yang terdiri dari olahan rumput laut, buah tomat serta kacang-kacangan.
 





Lokasi yang indah lainnya sebelum menuju bandara LIA adalah pantai Tanjung Aan yang berada di Lombok Tengah. Lokasi terakhir menjadi kebahagiaan tersendiri bagi seorang Naomi, selain karena pasirnya yang putih bersih, di sana juga banyak anak seusianya yang antusias melihat Naomi mempraktekkan kemampuannya melakukan gymnastic di pinggir pantai. Dan yang tak kuduga sebelumnya, anak-anak tersebut ternyata cukup ahli sebagai fotographer dengan menggunakan kamera handphone pengunjung. Mereka membantu pengunjung untuk mendapatkan hasil photo terbaik tentu dengan teknik – teknik yang bagi saya sangat luar biasa, seperti panoramic photo, seakan-akan obyek sedang mendorong bukit, photo ganda dan lainnya.  Ibaratnya tidak ke Lombok kalau tidak mampir ke Tanjung Aan, dan ini memang benar adanya, keindahan yang tak bertepi membuat ingin kembali. Sayangnya ada kabar di lokasi ini, akan dibangun hotel mewah bertema resort dan sirkuit motor GP yang juga bertaraf internasional. Mudah-mudahan proyek ini semakin membawa manfaat bagi masyarakat sekitar teruma anak-anak setempat yang tidak lagi menjadi fotografer dadakan tapi bisa menikmati buah dari proyek-proyek tersebut. @tejomurti



16 May, 2017

DNF = Do Not Finish

"DNF, Mengapa Mesti Malu"

 Dia, sang juara kusebut, memang sudah sepantasnya dan seharusnya begitu. "Sang" berarti hanya satu meski bukan satu satunya di Indonesia. Hanya satu karena meski dengan mengandalkan tubuh beserta anggotanya tentunya, tanpa trekking pole, tanpa geiter, dapat melalui seluruh rintangan dengan elevation gains mencapai 10 ribu meter dengan jarak lebih dari 100 kilometer. Semua diselesaikan dengan wajah yang tak lepas dari senyuman tanpa terlihat mimik lelah dan gundah, Dia adalah Fandhi Achmad, kalau anda belum mengenalnya.

Tentu tulisan ini bukan membahas sosok beliau, sang juara, tetapi bagaimana kita mengatur strategi dan persiapan baik fisik dan mental untuk mempersiapkan suatu perlombaan lari trail khususnya Ultra Trail Running. Persiapan yang dibutuhkan agar tidak menderita sepajang lintasan serta menerima kenyataan didiskualifikasi di tengah rute atau biasa disebut Do Not Finish (DNF).

DNF ketigaku di event Rinjani Ultra dalam tiga tahun terakhir, pertama MRU52k, kemudian di tahun 2016 yakni KM 42 di Rinjani100k dan terakhir stop di KM 46. Meskipun demikian  terdapat pencapaian yang signifikan dibanding tahun sebelumnya yakni best time 10 jam untuk mencapai COT pertama di puncak Rinjani. Tahun depan wajib uji nyali lagi!

Team DJPR lengkap per kategori lomba


10 jam my best time ever

owner Wisma Geo, abah Abdul Waris

bersama team DERBY komposisi lengkap, termasuk dokter yg akhirnya podiumer's

Hotel Nusantara, The venue event

ready to start 100k

bersama jawara Rinanji 100k , Fandhi Achmad



27 February, 2017

Menjadi Marathon-er

MET MILAD DIRIKU


Kebahagiaan dan  kesedihan, baru kali ini dua rasa itu bercampur menjadi satu. Satu itu aku namakan KESETIAAN. Kesetiaan pada apa? kesetiaan kepada persahabatan, semangat, daya juang, empathy, pertanggung jawaban alias akuntabiliti, rela berkorban, optimisme dan, apapun itu yang menurut Anda dan saya berarti positif. "If You want to run, run a mile. If You want to experience a different life, run a marathon" adalah quote dari penulis Emil Zatopek dalam menggambarkan bagaimana lari marathon itu. Marathon berarti berlari sejauh 26,2 miles atau 42,195 kilometer, merupakan sesuatu yang harus ditaklukkan, ibarat ujian akhir, apabila seorang pelari pada akhirnya disebut sebagai "Pelari".  Pada tanggal 25 Februari yang lalu, rasa campur aduk itu mulai terasa saat teman teman mengucapkan selamat ulang tahun beserta sekumpulan doa dan harapan. 

Angka 42 adalah angka keramat yang menjadi simbol pencapaian seorang pelari untuk disebut sebagai "Pelari", saat menuntaskan jarak tempuh Marathon sepanjang 42 km. Yang apabila dipersamakan dengan usia seorang mahluk insani, tentu hal ini harus menjadi milestone dalam kehidupan, titik di mana menandai frasa beginning dan ending, apa-apa yang harus dimulai dan apa-apa yang harus diakhiri. Menurut saya sesuatu yang harus diakhiri adalah kebiasaan ber-angan-angan dan pada titik ini mulailah untuk selalu bermimpi. Bermimpi bagi orang yang optimis, berarti : mimpi saat ini adalah kenyataan di masa depan. Sedangkan orang yang berangan-angan adalah individu yang mengandalkan masa depan, sesuatu yang didominasi dengan sikap pasrah, apriori dan tanpa adanya kerja keras.


Dengan bermimpi yang positif tentunya, maka tindakan-tindakan akan otomatis berjalan beriringan. Tindakan yang akan memenuhi mimpi tersebut, mimpi yang bisa berarti doa kepada sang pencipta, maka Tangan Tuhan akan bekerja. Kemudahan, kesempatan dan kemauan disertai kemampuan dalam menyelesaikan hambatan akan dengan sendirinya dapat mewujudkan mimpi tersebut. Semua tinggal masalah waktu. Pengalaman beberapa tahun lampau membuktikannya, saat saya yang minus kemampuan bahasa asing, tidak memiliki paspor dengan dana simpanan yang minim, memiliki mimpi untuk mengunjungi pegunungan Himalaya di Nepal. Saya menuliskan mimpi tersebut di status Facebook saya. Himalaya I'm Coming.. Kata kata yang bernada optimisme dan keyakinan. Mimpi yang akhirnya terwujud di pertengahan tahun 2011 dengan mencicipi trek Annapurna Circuit, Himalaya. Selain itu banyak sekali pengalaman lain, yang bagi saya lebih ke arah spritual journey.


Pun demikian dengan bangsa ini, rakyat dengan segenap pemimpinharus optimis, bahwa negara kita menjadi negara yang makmur bersama seluruh rakyat, gemah ripah loh jinawi dari dan untuk rakyat, dan disegani bangsa-bangsa di dunia. Hentikan rasa curiga dan selalu berusaha untuk berproses sedangkan masalah hasil kembalikan semua pada ketentuan Sang Pencipta


Rasa sedih menginjak usia 42, berarti jatah hidupku di dunia ini berkurang lagi satu tahun, masih banyak kekurangan diriku dalam tugasnya sebagai manusia, khalifah, setahun belakangan. Yang kedua sedih kiranya kalau teman-teman tidak hadir dalam undangan makan bersama, tempat menyusul.  Resolusi dan mimpi tahun ini yang pertama menjadi Finisher setiap event lari yang diikuti. Menjadi finisher adalah hal utama, karena menyelesaikan atas sesuatu yang telah kita mulai adalah keniscayaan sedangkan  menjadi podiumer dan memperoleh piala merupakan bonus. Kemudian menjadi manusia yang bermanfaat bagi keluarga dan lingkungan terdekat serta berguna kepada agama, bangsa dan negara, yang biasanya diucapkan saat kita pertama kali muncul ke dunia. cmiwww

Temans Runners yang bikin diriku terharu dan bersemangat:)
(no.8 dicapai kalo naik motor)




13 February, 2017

Akhir yang Bahagia

CTC - Coast to Coast -
Pantai Depok Yogyakarta
11-12 Februari 2017


Coast to Coast, atau orang lebih mengenalnya dengan CTC Yogya adalah event tahunan teman-teman Trail Runner Yogyakarta yang dikomandani oleh Sdr. Dzaki Wardhana. Ini juga menjadi event keduaku berpartisipasi di sini, setelah tahun lalu mengikuti kategori premiumnya, yakni 50 KM dan tahun ini mengambil kategori terjauh yakni 70 KM dari 3 kategori yang tersedia, kategori lainnya adalah 25k dan 50k.

Asian Trail Master sebagai organisasi yang mengkoordinir race-race trail yang ada di benua Asia, turut terlibat memberikan masukan bagi panitia CTC Yogya agar berjalan aman, nyaman dan memenuhi standar race trail yang berlaku di dunia. Ingat urusan safety menjadi bagian terpenting dalam setiap trail race meskipun kadang-kadang dapt mengecewakan para peserta, seperti kejadian di event Utra Trail of Mount Fuji (UTMF) edisi 2016. Akibat hujan badai di jalur lomba tersebut, panitia dengan terpaksa memotong jarak tempuh lomba dari 178 Km menjadi hanya 44 km.  Padahal sangat besar biaya yang telah dikeluarkan peserta untuk admission fee dan travel cost, belum lagi waktu yang telah di arrange jauh jauh hari, mengingat Jepang bukan lokasi yang dekat. Dari Indonesia sendiri pada umumnya pesawat terbang harus transit minimal satu kali.

Panitia menyediakan air, baik isotonic maupun mineral, makanan kecil dan buah pada Water Station (WS) alias pos marshall dan WS yang harus dilewati peserta 70k sebanyak sembilan WS. Jarak untuk masing-masing WS bervariasi dari 5 km sampai dengan 9 km tergantung dari tingkat elevasi dan kesulitan track yang ditempuh oleh peserta. COT (Cut of Time) berlaku dua kali yakni di WS 6 berjarak 45 km dari titik start pada jam 06.00 WIB dan WS 9 di KM ke 65 pada jam 11.00 WIB sehingga dengan ketentuan COT ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelari kategori 70k. 

Jam 04.28 pagi dengan tenaga yang yang tinggal satu dua, akhirnya saya menyentuh pos WS 5 yang sekaligus sebagai Check Point. Ini merupakan pencapaian dengan harapan bisa menikmati isi Dropbag yang dititipkan sebelum race, yakni sebutir Avocado dan beberapa penganan khas Yogya. Tak lupa sebelum meninggalkan CP 5, disempatkan menunaikan kewajiban sholat Shubuh di teras rumah warga. Teman peserta 70K, yang sejak KM 30-an bareng, bro Elham Teto, kuajak untuk segera berangkat karena COT di WS/CP6 jam 6 Pagi atau waktu yang dibutuhkan maksimal selama 1 jam 15 menit untuk menempuh rute sepanjang 8 KM. Namun sepertinya bro Elham masih butuh waktu beristirahat, jadi mohon maaf saya berangkat lebih dulu.

Ternyata panitia memberikan spare tambahan waktu 10 menit untuk COT di CP 6, padahal saya telah tiba di CP tersebut, dengan berlari tentunya, pada tepat pukul 06.00 WIB. Pada titik inilah dimana perang sesungguhnya antara malaikat dan syetan terjadi. Satu sisi mengatakan untuk terus berlari dengan sepenuh tenaga dan mengabaikan rasa pegal saat tanjakan, sisi lainnya membisikkan untuk santai saja masih banyak waktu kok. dan kubuktikan si malaikat-lah yang akhirnya menjadi pemenang. Efek avocado alias alpokat sangat terasa untuk obat mental hehe.

Track yang licin dan berlumpur, akibat hujan yang terus menerus dan sisa pergerakan peserta 25k, 50k dan 70k yang bertemu di sepertiga rute 70k, membutuhkan ekstra keseimbangan untuk melahapnya. Tak banyak kesulitan sebenarnya, salah satunya karena grip Vibram yang mencengkram kuat di sepatu North Face-ku. Dengan demikan sisa 20 plus 3 km terakhir hanya butuh waktu 5 jam 45 menit untuk mencapai garis finish, yang disambut dengan penuh sukacita oleh team DJPR yang telah menunggu sejak pagi :). Result akhir dapat dilihat di https://ctcultra.com/rc/wp-content/uploads/results/CTC2017_Result_70K.pdf.

Thanks untuk team panitia CTC 2017 yang dengan kesungguhan dan kerja kerasnya telah menyelenggarakan event yang luar biasa. I will come back next year for another remarkable adventure.    


The dream has came true
sebelum start jam 21.00 WIB

berupaya mempertahankan pace sejak KM5

kebersamaan DJP Runners ka-ki : Sulastri, Damar, Acip dan Asda

pelayanan prima.. owner Kid@lstay Yogyakarta

medal

Sekali lagi, Charity Run RTC 2025

Merajut asa, Merengkuh Semangat baru  RTC 2025 kategori full course Kegiatan menulis itu kadang kala butuh mood , ini yang terjadi pada ku, ...