|
Scallywags Resort |
Pesawat yang kutunggu sejak pagi
akhirnya mendarat dengan selamat di BIL (Bandara Internasional Lomok) yang
sekarang menjadi LIA atau Lombok International Airport. Jam menunjukkan pukul
8.20 WITA, rute penjemputan yang cukup memakan waktu dari lokasi outbound-ku di
sekitar Senggigi, yang seketika merubah rasa lelah menjadi suka cita setelah
memeluk anak istri tercinta.
Ternyata mereka berani juga
berangkat ke Mataram tanpa guide yang biasanya selalu menemani. Dengan tekad
bulat segala keraguan menjadi sirna, dengan semangat bersilaturahmi dan
kegiatan menikmati keindahan alam kreasi Sang Pencipta, perjalanan dengan Lion
Air terasa nikmat. Seperti pesan seorang pendiri Gontor “Jangan merasa berat
sebelum mengerjakan sesuatu, jangan merasa kenyang sebelum makan. Berat itu
hanya dikatakan saja tapi kalau dikerjakan terasa ringan”.
Hari pertama sebagaimana telah
direncanakan, kami bertiga bermalam di pulau Gili Trawangan tepatnya di resort
Scallywags yang berada tak jauh dari dermaga pulau. Gili Trawangan merupakan
bagian dari gugusan pulau kecil yang berada tak jauh dari pulau lombok. Pulau lain
yang berdekatan adalah Gili Air dan Gili Meno, namun pulau-pulau ini tidak
seramai dan sepadat gili Trawangan. Selain dengan banyaknya hotel dan
penginapan, infrastruktur yang memadai juga menjadi daya tarik pulau ini untuk
menghabiskan waktu. Untuk menuju
pulau-pulau ini tiket Fast Boat dari dermaga Bangsal menuju gili Trawangan, harus
ditebus dengan tiket 85 rb per orang jauh dekat.
Nuansa hotel yang alami dan
berdekatan dengan pantai sangat memberikan kesan kepada kami khususnya bagi seorang
Naomi. Setelah check in yang waktunya
setelah matahari mulai bergerak ke barat, Naomi meminta kami menemaninya mencari
spot terbaik untuk melakukan kegiatan air ataupun sekedar berfoto. Ke arah
utara sepertinya tempat yangn menarik karena disana akan terlihat matahari
terbenam dengan background gunung Agung yang tentunya sangat indah, yang dapat
ditempuh dengan berjalan kaki selama 45 menit di jalan yang sedikit berdebu.
Perjalanan sejauh kurang lebih 3 km menuju Pandawa Resort harus ekstra waspada
karena lalu lalangnya cidomo (kereta kuda, delman di Jawa) dan para wisatawan
yang menggunakan sepeda kayuh. Suara klakson cidomo yang lembut, tidak segahar
kereta kuda yang kadang kala melaju kencang menembus sempitnya jalur jalan satu
satunya di pulau. Pada awalnya saya mengira ada tukang roti dorong yang sedang
menjajakan barang dagangannya, ternyata klakson tersebut milik cidomo!.
Dengan menyewa satu sepeda kayuh
yang dipakai bergantian, kami akhirnya tiba di sekitar Pandawa Resort, sebuah
hotel mewah diantara beberapa hotel mewah lainnya yang berada disekitarnya
yakni Aston dan Villa Ombak Sunset. Sebagai catatan sepeda kayuh tersebut kami
sewa dengan harga penawaran sebesar 15 rb per jam dan kami jadikan 30 rb untuk
3 jam. Tak banyak kegiatan yang kami lakukan di sana, setelah mampir di kios
makanan milik Pandawa sepertinya, duduk duduk ditepi pantai sambil menunggu
matahari turun ke ufuk barat menjadi kenikmatan tersendiri pagi kami bertiga.
Setelah kembali ke penginapan
dengan perut yang melilit tentu yang ada dipikirkan adalah bagaimana segera
menghilangkan rasa lapar yang mendera. Ternyata ada night market atau pasar
malam yang berada dekat dengan dermaga, yang terlihat luar biasa antusias para
wisatawan yang berkumpul sambil makan malam bersama. Menu yang dijual terdiri
dari nasi campur sampai dengan ikan bakar plus lobster contohnya untuk menikmati
lobster dengan ukuran sedang, anda harus merogoh kocek sebesar 900 rb.
Ternyata meskipun namanya pasar
malam, rata rata harga makanan disana tidak berarti murah, dengan pemikiran
bahwa tingginya ongkos transportasi untuk memindahkan makanan beserta
penjualnya dari Mataram ke sini. Pulau kecil Gili Trawangan hanya berpenduduk
800 jiwa saja yang penuh dengan wisatawan domestik dan mancanegara. Makanan dan air bersih sudah pasti menjadi
barang mewah.
Hari kedua, tak banyak yang
dilakukan karena baru tersadar dari tidur nyenyak setelah matahari beranjak
tinggi. Hotel yang kami tempati sudah harus kami tinggalkan, yah karena cuma satu
hari satu malam rencana kami di pulau kecil ini. Untuk kembali ke pulau Lombok,
kami telah memesan speed boat, kapal
kecil bermesin tunggal, dengan penumpang terbatas yang dapat merapat di mana
saja di pulau. Kami minta dijemput di dermaga terdekat, dermaga Villa Ombak
Resort. Ongkos yang kami keluarkan untuk sekali perjalanan sebesar 300 rb. Cukup
worthed bukan. Dan sesuai dengan waktu tempuh yang sangat
singkat, hanya 15 menit saja menuju jemputan bli Wayan di seberang sana (pulau
lombok).
Spot selanjutnya adalah Malimbu
untuk sekedar foto –foto sebelum kami mampir di toko perhiasan mutiara di
sekitar Senggigi di hari Sabtu sambil kami menuju hotel Aston, tempat kami
bermalam di kota Mataram. Esoknya setelah berjalan pagi dengan tujuan pasar
Kebon Reok Ampenan, kami membeli
oleh-oleh sebagai buah tangan di toko Phoenix. Toko ini banyak menjual penganan
khas Lombok, yang terdiri dari olahan rumput laut, buah tomat serta
kacang-kacangan.
Lokasi
yang indah lainnya sebelum menuju bandara LIA adalah pantai Tanjung Aan yang
berada di Lombok Tengah. Lokasi terakhir menjadi kebahagiaan tersendiri bagi
seorang Naomi, selain karena pasirnya yang putih bersih, di sana juga banyak
anak seusianya yang antusias melihat Naomi mempraktekkan kemampuannya melakukan
gymnastic di pinggir pantai. Dan yang tak kuduga sebelumnya, anak-anak
tersebut ternyata cukup ahli sebagai fotographer dengan menggunakan kamera handphone
pengunjung. Mereka membantu pengunjung untuk mendapatkan hasil photo terbaik
tentu dengan teknik – teknik yang bagi saya sangat luar biasa, seperti
panoramic photo, seakan-akan obyek sedang mendorong bukit, photo ganda dan
lainnya. Ibaratnya tidak ke Lombok kalau tidak mampir ke Tanjung Aan, dan
ini memang benar adanya, keindahan yang tak bertepi membuat ingin kembali.
Sayangnya ada kabar di lokasi ini, akan dibangun hotel mewah bertema resort dan
sirkuit motor GP yang juga bertaraf internasional. Mudah-mudahan proyek ini
semakin membawa manfaat bagi masyarakat sekitar teruma anak-anak setempat yang
tidak lagi menjadi fotografer dadakan tapi bisa menikmati buah dari
proyek-proyek tersebut. @tejomurti